Ada nggak yang seperti saya, kalau mau ke optik itu kok kayaknya takut, ragu, atau malu? Tapi kalau dipikir ulang, ya ngapain malu kan kita ke sana niatnya mau beli kacamata bukan pilih-pilih doang.
Masih lebih suka frame yang lama/Raja Lubis |
Pertama kali saya pakai kacamata secara rutin adalah sejak November 2018. Saat itu, saya curhat sama teman saya soal pengin periksa mata tapi malu kalau pergi ke optik.
Akhirnya, berkat bantuan teman saya tersebut, petugas optik yang merupakan koleganya datang ke rumah. Saya periksa mata di rumah, kemudian pilih frame, dan kacamata dikirim keesokan harinya.
Dari hasil pemeriksaan ternyata mata saya minus 2,50 di bagian kanan dan kiri. Pantes saja, kalau papasan sama orang di jalan, suka disangka sombong karena nggak nyapa. Padahal mah emang wajah orang yang saya lihat itu blur semua. Hehe.
Setelah hampir 6 tahun, saya mulai merasa kacamata yang saya pakai tidak lagi berfungsi dengan baik. Entah karena lensanya sudah butek, atau memang minus di mata saya yang bertambah.
Paling kerasanya kalau nonton di bioskop, subtitle di layar jadi berbayang. Kalau saya duduk di kursi A paling atas, saya hampir tidak bisa membaca subtitle. Makanya, beberapa bulan terakhir, saya menurunkan tingkatan kursi ke C atau D, agar lebih dekat dengan layar bioskop.
Akhirnya saya memutuskan pergi ke optik yang baru buka cabang baru dekat rumah. Tertarik karena katanya ada promo 100 ribu sudah termasuk frame dan lensa.
Dan ini cerita saya untuk pertama kalinya berlama-lama di optik.
Periksa mata menggunakan komputer dan manual
Karena hanya berjarak beberapa meter saja dari rumah, saya menuju optik tersebut dengan berjalan kaki. Sesampainya di sana, saya disambut oleh pegawai dengan pelayanan yang cukup baik.
Yang pertama kali saya lakukan adalah periksa mata menggunakan komputer. Ya, saya pengin tahu apakah ada penambahan minus atau mungkin ada masalah lain di mata saya.
"Dagu bapaknya, dekatkan di sini ya", ucap petugas sambil menunjukkan batas di alat periksa mata yang canggih itu.
Saya mengikuti intruksi demi instruksi sang petugas, termasuk ketika saya diharuskan melotot dengan kapasitas penuh. Sumpah, mata saya yang kata orang-orang sedikit sipit, sudah mengeluarkan kapasitas maksimalnya untuk melotot ya.
"Hasilnya bapak minus 5,50 dan ada silinder 1,00", ucap petugas sambil memperlihatkan kertas print-an hasil periksa mata dari alat tersebut.
"Lha kok bisa 5,50 ya", saya agak kaget dengan penambahan minusnya.
"Oh ini maksimalnya, Pak".
Saya masih nggak paham. Ternyata hasil dari pemeriksaan komputer itu adalah batas maksimal. Lantas saya pun bertanya, gimana cara tahu untuk mengecek pasnya.
Katanya harus dicek manual. Baiklah!
Tes manual itu, saya mencoba berbagai lensa sembari melihat huruf-huruf yang terpampang di tembok dari jarak tertentu. Setelah itu ditanya mana yang paling nyaman untuk digunakan.
Setelah berkali-kali tes lensa, saya memilih yang terbaik dan nyaman serta
tidak membuat saya pusing ketika memakainya adalah di minus 2,75. Ya,
nambah 0,25 ternyata.
Oia, kalau dipikir-pikir lagi, ngapain dites pakai komputer kalau ujung-ujungnya manual juga ya?
Memilih lensa yang sesuai
Setelah sepakat soal kondisi mata, saya diarahkan ke petugas lainnya untuk menjelaskan berbagai jenis lensa yang bisa digunakan.
Bagian ini, selain menjelaskan fungsi lensa, sisi marketingnya juga jalan agar konsumen bisa upgrade lensa ke yang lebih mahal, hehe.
Baiklah, dari penjelasan petugas, seenggaknya optik ini menyediakan beberapa jenis lensa seperti anti radiasi, blueray, photocrhomic, dan bluechromic.
Sejujurnya saat dijelaskan saya nggak mudeng banget di mana letak perbedaannya. Tapi intinya lensa anti radiasi, itu hanya lensa biasa yang anti radiasinya hanya sekitar 20% katanya. Sementara tiga lensa lainnya punya tingkat anti radiasi lebih dari 70%.
Aspek lain yang membedakan dari jenis lensa tersebut adalah soal fungsinya.
Lensa blueray sebagai anti radiasi dari gadget dan lensa photochromic sebagai
anti radiasi dari sinar matahari. Sementara bluechromic adalah gabungan
keduanya.
Sebaiknya googling lebih banyak mengenai tipe-tipe lensa sebelum pergi ke optik
Saatnya memilih dan memilah frame
Beberapa koleksi frame yang bisa dipilih/Raja Lubis |
Bagian terlama dari tahapan membeli kacamata adalah memilih frame. Optik biasanya menyediakan ratusan pilihan frame yang bisa dicoba.
Karena saya nggak mau berlama-lama, sebelum datang ke optik saya sudah menentukan 3 pilihan frame yang mereka posting di akun instagramnya.
Ternyata pilihan frame yang saya mau nggak ada di optik tersebut. Bukan habis stoknya ya, emang nggak ada. Lalu ngapain diposting di akun instagramnya, apalagi iklannya kencang. Muncul mulu tiap saya scroll instagram.
Di sini lah keputusan saya diuji. Sebagai orang yang kadang nggak enakan, mau nggak jadi beli malu udah tes mata gratis, mau jadi beli pun ya nggak ada yang sesuai pilihan. Kumaha atuh nya.
Walau optik sebetulnya nggak maksa ya untuk jadi beli, cuma kadang bilang nggak jadinya itu lho susah.
Akhirnya saya alihkan pembicaraan ke soal promo 100 ribu itu. Petugas menunjukkan koleksi frame yang ada di meja. Saya lihat beberapa, satu pun nggak ada yang menarik. Ya wajar namanya aja promo.
Lantas saya bertanya ke petugas untuk memberi saya rekomendasi yang mirip-mirip dengan frame pilihan saya di instagram.
Ada beberapa frame yang saya coba, ada yang cocok tapi harganya nggak ramah kantong.
Saya langsung kasih kisaran bujet saja sehingga petugas nggak perlu rekomendasikan yang premium yang harganya di atas 1 juta. Nggak akan saya beli juga. Hehe
Setelah menimbang, memperhatikan, mengamati, akhirnya saya memutuskan pilihan saya pada satu frame. Sementara lensanya saya putuskan yang bluechromic.
Berapa biaya yang dihabiskan?
Sederhananya, harga kacamata itu terdiri dari harga frame ditambah harga lensa. Harga frame sangat bervariasi mulai dari 100 ribu hingga jutaan rupiah. Sementara untuk harga lensanya mulai dari 50 ribu. Nggak ada harga pasti untuk upgrade lensa, langsung saja ditanyakan sama petugasnya ya.
Frame yang saya pilih harganya Rp250.000 dan lensa bluechromic Rp200.000. Jadi total biaya yang saya habiskan Rp450.000.
Apakah bisa ditawar? Kalau masih berani adu tawar, tawar saja. Saya kembali lagi, kalau beli-beli nggak enak kalau nawar. Makanya belanja apapun saya lebih suka yang harga pas dan sudah diketahui sejak awal.
Kasarnya, kalau cocok tinggal beli. Kalau enggak ya skip saja.
Tapi alhamdulilahnya, karena optik ini baru buka (saya datang di hari ketiga pembukaan), ada promo potongan diskon 10% jika memberikan rating bintang 5 di google maps. Ya sudahlah saya ambil promonya.
Jadi total yang saya bayar sebesar Rp405.000. Ya masih masuk bujet saya, karena batas maksimal untuk biaya kacamata saya hanya menganggarkan 500 ribu saja.
Perhatikan kelengkapan dan garansi
Nggak kalah penting untuk diperhatikan ketika membeli kacatama di optik adalah soal kelengkapan dan garansi.
Di optik ini, dalam setiap paket pembelian kacamata sudah termasuk box ekslusif dari merk frame atau box dari optiknya, lap pembersih, dan cairan pembersih kacamata.
Dan jika cairan pembersih sudah habis, bisa datang lagi ke optik untuk memintanya kembali secara gratis. Hanya tinggal tunjukkan nota pembelian. Jadi simpan baik-baik ya struknya.
Kelengkapan pembelian paket kacamata/Raja Lubis |
Sayangnya, soal garansi nggak memuaskan. Optik ini hanya menyediakan garansi toko selama 7 hari saja. Padahal kacamata saya sebelumnya memberikan garansi 1 tahun untuk lensa dengan syarat dan ketentuan tertentu.
Baiklah saya lakukan pembayaran. Kacamata bisa ditunggu 15-20 menit kata petugasnya. Tapi kenyataannya butuh waktu 48 menit untuk menunggu. Ya sudahlah tak apa. Saatnya pulang dan membiasakan diri dengan kacamata baru.
Saran untuk yang pertama kali akan menggunakan kacamata
Menurut hemat saya, sebaiknya tes mata dilakukan di klinik mata atau dokter spesialis terutama bagi yang pertama kali. Suasananya lebih tenang dan bisa konsultasi dengan lebih fokus.
Periksa mata di optik seperti dikejar-kejar waktu, berbagi alat dan waktu dengan pengunjung lain, dan petugas juga akhirnya tidak fokus menangangi konsumen.
Dulu, saat kuliah, saya periksa mata pertama kali di klinik. Waktu itu saya merasakan sedikit buram dalam penglihatan. Tapi karena hasilnya masih minus 0,25, saya memutuskan tidak menggunakan kacamata.
Oia, saya tes kacamata baru saya ini dengan menonton film di bioskop. Saya bawa kedua kacamata dan menggunakannya secara bergantian. Paruh pertama saya menggunakan kacamata lama, paruh kedua film saya menggunakan kacamata baru.
Ternyata untuk menonton film di bioskop, kacamata baru tetap tidak bisa
melakukan tugasnya dengan baik. Subtitle tetap berbayang, meski bisa
terbaca sedikit lebih jelas dibanding dengan kacamata lama.
Ya, demikian lah cerita saya membeli kacamata di optik. Semoga bisa bermanfaat dan membantu teman-teman yang juga ingin menggunakan kacamata.