Untuk informasi seputar review film dan info perfilman, silakan kunjungi RajaSinema

Menyulam Senyum di Tengah Ketiadaan


Aktor hebat Reza Rahadian pernah mengalami hidup tanpa sosok ayah yang meninggal saat melaut. Akhirnya ia hanya dibesarkan oleh ibunya dan berjuang hidup sehari-hari dengan berjualan lukisan. Lain Reza, lain pula aktor Fedi Nuril. 

Ia harus bersama buah hati kecilnya seketika ditinggal oleh istrinya saat melahirkan. Kepedihan itu ditambah pula kenyataan sang putra pun mengidap penyakit serius dan Fedi Nuril harus menyaksikan akhir hayatnya sang putra. 

Meski berlainan cerita, keduanya masih sama-sama mampu menyulam senyum di tengah ketiadaan orang-orang yang dicintainya.

Eittts, sabar dulu ya. Cerita tersebut memang hanya ada di film yang mereka mainkan. Ada yang tahu film apa? *hayooo tebak sendiri*.

Terkadang cerita film banyak juga yang merefleksikan kenyataan hidup sekitar kita. Banyak di antara kita yang hidup tanpa ayah, tanpa ibu bahkan tanpa ayah dan ibu, namun mereka masih mampu berbagi senyum. Lalu ?

Minggu, 19 Juni 2016 sekitar pukul dua siang, langkah ini telah tiba di sebuah tempat  yang nampaknya masih asing bagi saya. Suasana masih sepi, maklum saya yang kesiangan eh kepagian karena acara dimulai sekitar pukul 3. Ya, lumayan satu jam lebih cepat. Akhirnya saya menepi dulu ke sebuah mesjid yang tak jauh dari tempat asing tersebut.

Sebelum adzan Ashar tiba, saya pun menengok terlebih dahulu tempat asing tersebut. Rupanya sudah sedikit ada keramaian. Banyak anak - anak, baik laki-laki atau perempuan dengan usia sekitar 5-12 tahun. Mereka berlarian, bercanda tawa dan bermain bersama. Di sana pun sudah ada sesosok laki-laki berkaos merah yang tengah mempersiapkan sesuatu. Saya pun mendekatinya.

"Ada yang bisa saya bantu, Kang?",  kira-kira begitu, yang tiba-tiba terucap saat saya menyapa sosok laki-laki kaos merah tersebut.

"Enggak ada lagi, semua udah siap, Insya Allah", balasnya singkat seraya masih terlihat seperti menunggu sesuatu, mungkin menunggu rekan-rekannya yang lain.

Lalu saya pun berpamitan untuk shalat Ashar karena adzan telah berkumandang. Secepat kilat saya pun kembali ke tempat asing tersebut. Kali ini lebih ramai dan ada beberapa manusia yang saya kenal pun tiba di tempat asing tersebut. Ada apakah gerangan saya dan mereka harus berada di tempat asing seraya dipayungi kemuning senja yang masih terasa panas menyengat.

Tempat asing yang satu jam setengah yang lalu masih sepi, kini mulai bergema dengan suara sound system hingga radius beberapa meter. Orang-orang berkumpul khidmat mengikuti panduan atas intruksi seorang laki-laki sedikit gemuk berpeci. Baiklah saya sebut ia lelaki berpeci saja, karena gemuk agak sedikit sensitif.

Lelaki berpeci pun menyapa seluruh manusia yang hadir di sana, terlebih ke anak-anak yang sedari tadi tetap menyulam senyumnya. Saya pun melihat dari pojok kanan dengan sedikit merenung. Pantaskah saya bermuram durja padahal masih banyak sesuatu yang saya miliki, terlebih orang tua. Kiranya saya harus belajar dari anak-anak ini.

Detik demi detik pun berlalu. Anak-anak tetap dengan senyumnya. Kali ini sosok kaus merah tidak hanya seorang, melainkan lebih. Ya lebih banyak. Mereka membagi diri dan bergabung bersama anak-anak yang juga telah dibagi. Sosok kaus merah berbagi dengan apa yang mereka miliki. Sosok yang satu berbagi dengan kemampuan berkebunnya, sosok yang lain dengan nama-nama rasul dan mukjizatnya.

Permen dan lolipop menjadi daya tarik anak-anak untuk tetap menyulam senyum. Ah, saya yakin bukan itu faktor utamanya. Mereka menyulam senyum karena berada di tempat asing, ya asing untuk saya, untuk siapapun kecuali mereka. Senyumpun terus mengembang.

Tak terasa adzan Magrib pun berkumandang. Saya perlahan tapi pasti mulai bisa beradaptasi dan merasa memiliki tempat asing itu. Saya, sosok kaus merah, lelaki berpeci pun berbuka puasa bersama anak-anak yang masih tetap saja menyulam senyum. Ah, sungguh nikmat rasanya.

3 jam cukup buat saya mencoba identifikasi tempat asing itu, dan akhirnya beranikan diri untuk bertanya lebih detail tempat asing tersebut. Kudekati sesosok pria, masih terlihat muda dan semangat yang menjadi juru kunci tempat asing tersebut.

Teras Yatim Indonesia adalah lembaga yang bergerak di bidang sosial, pendidikan dan pembinaan anak yatim dan dhuafa khususnya di Kota Bandung Umumnya di seluruh pelosok nusantara. Kegiatan utama Teras Yatim Indonesia adalah pemberian santunan dan pembinaan kepada anak-anak yatim dan dhuafa binaan Teras Yatim Indonesia.

Saya sedang berada di sana, lalu check in google maps, terdeteksilah posisi pasti tempat asing tersebut ada di Jl. Riung Hegar Raya No. 10 RT 07 RW 08, Riung Bandung, 40295.


 IMG-20160619-WA0028

     Kini saya mengerti satu hal, dan saya pun pulang dengan membawa 2 nomor.


  • Rekening BSM : 7074545054, a.n. Yayasan Lidzikri

  • Rekening BRI : 368001019681533, a.n. Yayasan Lidzikri

     Dua nomor yang saya yakini, akan tetap membuat mereka menyulam senyumnya.


Read Also :
Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi Jurnalis atau Entertainer namun malah tersesat di dunia Informatika

4 comments

  1. Semoga kita diberi kemampuan untuk menjaga senyum mereka agar tetap berkembang.. :)
    Hatur nuhun untuk tulisan yang lembut dan hangat ini, bang Raja..
  2. Aaamiin, sama2...
  3. Aduh... meleleh kakak bacanya
    Selain jago me-review film, dirimu juga jago menghanyutkan hati

    Awesome dek.
    InsyaAllah pembaca blog ini makin rajin berbagi rezeki
  4. Aamiin, terimakasih sudah mampir dan atas apresiasinya....
Terima kasih sudah berkunjung ke RajaLubis. Tinggalkan jejak dengan mengisi kolom komentar yang ada. Kami tidak memoderasi kolom komentar, jadi silakan re-cek kembali sebelum berkomentar. Hindari komentar dengan memberikan link hidup, sapaan yang salah, dan atau kata-kata kasar.